Sudah sejak awal, Pak Rifai tahu betul, bahwa jalan yang ia tempuh bukanlah jalan mudah. Ia sadar, dengan penghasilan Rp50.000 per bulan, gajinya takkan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, demi kecintaannya pada dunia pendidikan, ia tetap melangkah. Langkah sederhana yang setiap hentaknya membawa arti, untuk memastikan anak-anak di desanya tetap bisa belajar dan tetap memiliki harapan.

Sosok seperti Pak Rifai tak hanya ada di satu tempat. Ia memang mengajar di sebuah Sekolah Dasar di pelosok Lombok Timur, tepatnya di SDN 1 Nyiur Tebel, Desa Dasan Lekong, Kecamatan Sukamulia, namun sejatinya, kisahnya hidup di banyak wajah lain di pelosok Indonesia. Di lereng-lereng pegunungan, hingga di pulau-pulau kecil, selalu ada guru yang berangkat pagi-pagi dengan hati yang teguh, sebab mereka percaya, pendidikan adalah cahaya yang harus terus menyala untuk generasi selanjutnya.

Dua Puluh Tahun Mengajar dengan Ketulusan

Sejak tahun 2006, hampir dua puluh tahun lamanya, Pak Rifai berdiri di depan kelas. Menjadi matahari pagi bagi murid-muridnya, meski hidupnya sendiri kerap diselimuti awan keterbatasan. Setiap hari, ia berjalan kaki menempuh jarak empat hingga lima kilometer menuju sekolah.  Di tengah panas dan hujan, langkahnya menjadi saksi dari keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya, dan seorang guru adalah lentera yang menyalakannya, sekecil apa pun sinarnya.

Dengan Motor Tua dan Semangat yang Tak Pernah Sirna

Kini, setelah bertahun-tahun mengajar, akhirnya ia bisa membeli motor tua dari sedikit demi sedikit tabungannya. Motor itu sudah menempuh ribuan kilometer, mengantarnya setiap hari dari rumah menuju sekolah. Namun, seiring usia yang bertambah, mesin motor itu sering mogok di tengah jalan. Dan setiap kali kendaraan tuanya menyerah, Pak Rifai tak pernah ikut berhenti. Ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh empat sampai lima kilometer. Karena baginya, pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritasnya yang utama.

Gaji Pas-Pasan, Semangat yang Tak Pernah Berkurang

Kini gaji Pak Rifai sudah meningkat menjadi Rp400.000 per bulan. Angka yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, selepas mengajar, Pak Rifai beralih peran mengerjakan berbagai pekerjaan serabutan. Terkadang menjadi buruh tani, membantu tetangga yang membutuhkan tenaga, atau mengerjakan pekerjaan serabutan apa pun yang bisa menghasilkan rezeki halal.

Di samping rumahnya, ia memelihara 10 ekor ayam. Setiap sore, selepas mengajar, ia memberi makan ayam-ayam itu dengan sabar, merawatnya dengan sabar, sama seperti ia merawat harapan di dalam hatinya.

“Meskipun gaji saya pas-pasan, saya tetap semangat mengajar. Karena kalau saya tidak berangkat, anak-anak bagaimana? Siapa yang akan mengajar? Guru di sekolah kami juga pas-pasan,” ucapnya kepada tim Relawan Nusantara.

Pernyataan itu mungkin terdengar sederhana, tapi di baliknya ada jiwa yang besar, jiwa seorang guru yang menaruh kepentingan murid di atas kenyamanannya sendiri.

Harapan yang Sesederhana Hatinya

Ketika ditanya tentang harapannya, Pak Rifai tak meminta banyak. Ia hanya ingin memperbaiki motornya agar tidak lagi sering mogok, supaya perjalanannya mengajar ke sekolah tidak terhambat dan bisa lebih lancar. Ia juga berharap ada sedikit bantuan modal usaha untuk menambah penghasilan di sela-sela waktu mengajar.

Tak ada keinginan untuk kaya, tak ada keinginan penghargaan. Yang ia harapkan hanyalah kecukupan tenaga dan kesempatan agar bisa terus menyalakan cahaya bagi anak-anak yang masih ingin belajar.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Nyata

Pak Rifai adalah cermin nyata dari istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

Ia tidak dikenal banyak orang, tapi cahaya pengabdiannya menerangi masa depan puluhan murid setiap tahun. Dalam dirinya, tersimpan pelajaran tentang ketulusan, ketangguhan, dan kesabaran yang tak terukur nilainya.

Hidupnya adalah kurikulum keikhlasan, di mana setiap keringat, langkah, dan senyum yang tulus adalah bab yang mengajarkan arti perjuangan sebenarnya.

Mari Bersama Hadirkan Bingkisan Cinta untuk Mereka

Di luar sana, masih banyak guru seperti Pak Rifai. Mereka terus berjuang dalam sunyi, mengajar dengan cinta meski hidup mereka sendiri penuh keterbatasan. Kini saatnya kita hadir untuk mereka. Klik di sini untuk ikut memberikan “Bingkisan Cinta untuk 1.000 Guru.”

Mari bersama memberikan tanda kasih, menghadirkan senyum dan semangat baru bagi para guru di pelosok negeri. Karena setiap uluran tanganmu adalah cahaya baru bagi mereka yang selama ini tak pernah berhenti menyalakan terang bagi anak bangsa.