Pada tanggal 3 Oktober 2025, dunia kembali menyaksikan bagaimana zionis menindas para aktivis kemanusiaan, namun tidak pernah benar-benar mampu membungkam nurani. Seluruh kapal Global Sumud Flotilla (GSF), armada kemanusiaan yang berlayar membawa harapan untuk Gaza, telah disabotase dan dicegat oleh Israel. Kapal terakhir, Marinette, dihentikan secara paksa saat berjarak 42,5 mil dari laut Gaza. Kurang lebih 500 aktivis, dari lebih dari 40 negara ditahan, termasuk jurnalis dan tokoh publik internasional.
Namun yang lebih memilukan, adalah cerita-cerita kelam dari para aktivis yang telah dibebaskan dari tahanan Israel. Komunikasi dipadamkan. Jaringan di sabotase. Laporan-laporan dari lapangan terhenti. Tapi ketika cahaya informasi kembali muncul, dunia terhenyak.
Luka Tak Terlihat dan Kesaksian dari Penahanan

Pada 4-5 Oktober 2025, sebanyak 137 aktivis akhirnya di deportasi ke Turki. Dari sanalah dunia mulai mendengar kisah yang sesungguhnya. Aktivis Turki, Ersin Cellik, bersaksi bahwa Greta Thunberg, salah satu penggerak Global Sumud Flotilla, aktivis muda dunia, diperlakukan dengan kejam. Ia diseret oleh rambutnya, dipaksa mencium bendera Israel, dibungkus dengan bendera tersebut, lalu dipamerkan seperti trofi. Kisah lain pun bermunculan:
- Para aktivis yang diculik tidak diberi air selama 32 jam,
- Kekurangan makanan dan obat-obatan,
- Barang pribadi disita, termasuk hijab para aktivis perempuan,
- Mereka dipukuli dan diancam agar tidak lagi berdiri bersama Gaza.
Tapi bahkan dalam kegelapan penahanan itu, suara mereka tidak padam. Dalam salah satu pernyataannya setelah dibebaskan, Greta Thunberg menegaskan bahwa seluruh aktivis Global Sumud Flotilla sepakat, aksi mereka hanyalah “bare minimum”, langkah terkecil yang bisa dilakukan dibandingkan penderitaan rakyat Palestina. Kata-kata itu menjadi gema nurani dunia. Bahwa meski kapal mereka terhenti, semangat kemanusiaan tak akan pernah padam.
Dunia Tidak Diam

Pada 6 Oktober 2025, para aktivis dari Swiss dan Australia yang di deportasi juga membuka suara. Mereka menyebut kondisi penahanan yang “tidak manusiawi”. Kurang tidur, kekurangan makanan dan air, hingga pelecehan fisik. Beberapa mengalami cedera, dan kekurangan obat-obatan.
Namun dunia tidak tinggal diam. Demonstrasi besar pecah di berbagai kota di dunia. London, Jakarta, New York, Istanbul, Johannesburg, dan negara-negara lainnya. Ratusan ribu manusia membawa satu pesan yang sama, bahwa kemanusiaan tidak akan pernah bisa dipenjara.
Suara dari Tanah Air
Dari Indonesia, kabar baik datang. Wanda Hamidah dan Muhammad Husein, dua aktivis kemanusiaan yang tergabung dalam Global Sumud Flotilla, terkonfirmasi selamat dan telah tiba di Indonesia. Meski tubuh mereka kembali, jiwa mereka membawa cerita tentang perjuangan yang tak berhenti di pelabuhan.
Mereka menjadi saksi bahwa dalam perjuangan untuk Gaza, bukan hanya kapal yang berlayar, tetapi nurani seluruh manusia yang masih percaya pada keadilan.
Nurani yang Tak Tenggelam
Israel mungkin berhasil menahan kapal-kapal yang berlayar, tapi mereka tak akan pernah bisa menenggelamkan nurani. Sebab perjuangan tidak berhenti di laut, ia terus berlayar di hati setiap manusia yang menolak tunduk pada keserakahan.
Dan dari setiap pelabuhan yang dibungkam, akan selalu ada tangan-tangan baru yang melanjutkan layar kemanusiaan itu. Klik di sini untuk ikut melayarkan dukungan. Karena nurani, tak seperti kapal, ia tidak bisa ditenggelamkan.