Menoleh Sejarah
Pada tahun 629 M, Nabi Muhammad ﷺ mengutus sahabatnya membawa surat dakwah kepada gubernur Romawi di wilayah Yordania. Namun surat itu tak pernah sampai kepada penerimanya, karena ternyata, sang utusan malah dibunuh. Nabi pun mengutus 3.000 pasukan, jumlah yang begitu kecil dibandingkan puluhan hingga ratusan ribu pasukan Romawi.
Tiga panglima terbaik ditunjuk secara berurutan. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Namun sebelum berangkat, sudah ada suara-suara miring yang mengiringi. Terlalu berisiko, terlalu sedikit jumlah pasukan, bahkan seorang rabi Yahudi memperingatkan kebiasaan perang Bani Israil yang keras di selatan Yordania.
Di medan Perang Mu’tah, tiga panglima Muslim benar-benar gugur satu per satu dengan penuh keberanian. Komando pun berpindah kepada Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu. Melihat situasi yang timpang, Khalid pun mengubah formasi, memainkan taktik, dan secara terhormat memundurkan pasukan. Strategi ini dibuat untuk mencegah korban tambahan sekaligus menghancurkan moral musuh. Pada akhirnya, pasukan Romawi pun tidak mengejar dan peperangan berhenti.
Namun saat kembali ke Madinah, yang terjadi mungkin lebih menyakitkan daripada perang itu sendiri. Saat para pejuang pulang, sebagian masyarakat Madinah menyambut dengan cemoohan. Para pejuang dianggap lari dari perang. Padahal mereka yang mencemooh pun tidak merasakan bagaimana dahsyatnya Perang Mu’tah. Nabi ﷺ menegaskan, mereka bukan pasukan yang lari, melainkan “insya Allah akan kembali.” Dan sejarah membuktikan, delapan tahun kemudian, di bawah kepemimpinan Khalid bin al-Walid, pasukan muslim benar-benar kembali untuk mengalahkan Romawi dan membawa kemenangan di Perang Yarmuk.
Mundur Adalah Strategi Perjuangan
Kisah Perang Mu’tah ini mengajarkan, bahwa mundur bukan kalah. Itu adalah tanda kematangan strategi, keteguhan, dan keberanian berpikir panjang.
Kisah ini memberi kita cermin, bahwa dalam perjuangan, tidak semua langkah harus maju. Ada kalanya kita perlu menahan diri, berbelok, bahkan mundur. Bukan karena takut, tetapi karena ingin menjaga nyawa, menjaga kekuatan, menjaga masa depan perjuangan itu sendiri.
Keputusan seperti ini tidaklah mudah. Ia membutuhkan keberanian moral, ketenangan hati, dan pandangan yang jauh ke depan. Dan sering kali, orang yang belum pernah berada di posisi itu tidak akan mengerti betapa beratnya memilih jalan ini.
Cermin dari Laut Tengah
Spirit yang sama terasa di Laut Mediterania saat ini. Hari ini, kita menyaksikan kisah yang hampir mirip. Para relawan Indonesia yang tergabung dalam Global Sumud Flotilla berangkat dengan semangat solidaritas untuk Palestina. Mereka meninggalkan rumah, keluarga, pekerjaan, dan kenyamanan, membawa misi kemanusiaan ke tempat yang penuh risiko.
Namun, selama berminggu-minggu, perjalanan mereka dipenuhi ujian. Kapal yang rusak, bahkan beberapa kapal tertahan di negara lain. Logistik yang menipis, dan ancaman-ancaman yang semakin nyata. Hingga akhirnya, setelah bermusyawarah panjang, para pejuang Indonesia memutuskan untuk menyerahkan kapal Indonesia untuk menembus blokade Gaza kepada armada sahabat dari Eropa yang lebih siap secara jarak dan waktu. Secara geografis, posisi mereka lebih dekat dan memiliki kapasitas untuk menunggu lebih lama. Keputusan ini bukan tanda gentar, tetapi sebagai salah satu strategi untuk menjaga kekuatan agar perjuangan bisa tetap berlanjut.
Namun, seperti pasukan Mu’tah, para pejuang Indonesia pun tidak sedikit menghadapi cibiran. Ada yang mengatakan “Indonesia mundur,” “takut,” “gagal.” Padahal, di balik keputusan itu, kami percaya, ada pertimbangan matang, sama seperti strategi Khalid bin al-Walid di Perang Mu’tah.
Renungan Untuk Kita
Sejarah Mu’tah dan pengalaman Global Sumud Flotilla sama-sama menunjukkan bahwa perjuangan besar tidak selalu lurus maju. Ia berliku, penuh tikungan, kadang harus berhenti. Ada masa ketika kita harus menyusun ulang barisan, ada masa ketika kita harus berputar arah demi tujuan yang lebih besar. Maka di situlah kesabaran, kedewasaan strategi, dan keteguhan niat kita di uji. Jeda yang memberi ruang kesempatan untuk menyusun ulang barisan, menata ulang strategi, menguatkan hati, dan meluruskan niat..
Maka kita pun perlu lebih bijak melihat relawan-relawan hari ini. Mereka bukan mundur untuk menyerah, mereka sedang menjaga api perjuangan agar tetap hidup. Fokus kita tetap pada tujuan utama, membela kemanusiaan, membebaskan blokade Gaza, dan tetap peduli kepada jutaan warga Palestina yang masih bertahan di bawah tekanan sekarang.
Menutup dengan Doa dan Dukungan
Perjalanan kemanusiaan memang panjang. Tapi dari Perang Mu’tah kita belajar, bahwa mundur pun bisa menjadi bagian dari kemenangan yang lebih besar.
Semoga kita semua diberi kelapangan hati untuk tetap mendukung mereka, mendoakan mereka, dan melihat lebih dalam pada niat tulus di balik setiap langkah. Karena pada akhirnya, perjuangan sejati bukan hanya tentang maju. tetapi juga tentang mengetahui kapan harus berhenti sejenak, menyusun ulang strategi, lalu bangkit dan melangkah kembali dengan lebih kuat.
Klik di sini untuk ikut melayarkan dukungan. Inilah saatnya untuk meluaskan manfaat dan solidaritas. Karena sekecil apa pun kepedulian dari kita, adalah kekuatan yang mendorong kapal ini bisa sampai ke Gaza.