Di belahan dunia yang jarang kita lihat di linimasa, ada negeri bernama Sudan. Negeri yang kini lebih sering disebut bukan karena keindahan padang pasirnya, tetapi karena tangisan anak-anak yang kehilangan rumahnya. Sejak 15 April 2023, tanah Sudan tak lagi sama. Langitnya diselimuti asap, jalan-jalannya menjadi saksi bagaimana rakyat disana sedang memerlukan bantuan.
El-Fasher: Kota yang Dikepung, Harapan yang Tercekik
Dua tahun berlalu. 26 Oktober 2025, dunia kembali menatap Sudan dengan getir. Wilayah yang kini menjadi penjara bagi 1,2 juta warga sipil yang terperangkap tanpa jalan keluar. Tidak ada makanan. Tidak ada air. Tidak ada obat-obatan. Yang tersisa hanyalah rasa takut dan doa agar hari berikutnya masih bisa dijalani. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru dibombardir. Bangunan hancur, meninggalkan puing dan kesunyian yang menyesakkan.
Menurut laporan Tirto.id, diperkirakan sedikitnya 2.000 orang tewas dalam pengepungan El-Fasher. Jaringan Dokter Sudan (Sudan Doctors Network) bahkan mencatat 1.500 korban jiwa, dan angka itu diyakini masih akan terus bertambah.
Fakta Krisis Kemanusiaan di Sudan
Kini, lebih dari 30 juta jiwa membutuhkan bantuan kemanusiaan darurat untuk sekedar bertahan hidup. Di beberapa wilayah, kelaparan ekstrem telah merenggut banyak nyawa, menjelma menjadi bencana kelaparan yang mengancam jutaan orang lainnya.
Warga yang masih hidup berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka. Jalanan penuh dengan rombongan pengungsi, ibu-ibu yang menggendong bayi, anak-anak kecil yang memegang tangan satu sama lain, dan para lansia yang berjalan tertatih tanpa arah pasti. Mereka pergi, karena satu-satunya pilihan adalah bertahan hidup.
Produksi pangan menurun drastis, lahan pertanian rusak akibat perang yang tak berkesudahan. Sementara itu, layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan air bersih kini lumpuh total. Rumah sakit tinggal reruntuhan, sekolah berubah menjadi tempat berlindung, dan sumur-sumur air bersih kini dikuasai oleh ketakutan.
Kelaparan menjalar cepat di antara kamp pengungsian yang penuh sesak. Ratusan ribu warga menunggu pertolongan di bawah terik matahari, menatap kosong, berharap ada tanda kehidupan dari dunia luar.
Mereka yang Bertahan dan Mereka yang Terluka
Ribuan orang melarikan diri menyeberangi perbatasan ke Sudan Selatan, Mesir, dan Chad, meninggalkan semua yang mereka miliki. Sebagian lainnya masih terjebak di kota-kota yang kini sunyi dan berdebu, tempat di mana harapan nyaris padam.
Yang paling memilukan adalah hilangnya rasa kemanusiaan. Anak-anak yang dulu bermain di halaman rumah kini bermain di antara puing dan debu. Para ibu menatap langit kosong, bertanya dalam hati apakah mereka masih punya hari esok. Dan kita, hanya bisa menyaksikan dari balik layar, menelan rasa pahit bernama ketidakberdayaan.
Mungkin kita tak bisa menghentikan perang, tapi kita bisa menolak untuk diam. Kita bisa berbicara, menulis, menyebarkan kisah mereka, menyalakan empati, sekecil apa pun itu. Karena setiap kepedulian adalah bentuk perlawanan terhadap keheningan yang melahirkan kezaliman.
Doa Mereka Masih Menatap Langit
Di tanah yang kini diselimuti abu dan air mata itu, masih ada orang-orang yang berbisik dalam sujudnya: “Ya Allah, jagalah saudara kami di Sudan…”
Dan mungkin, doa-doa dari penjuru dunia lainnya, termasuk dari kita, adalah satu-satunya peluru yang masih membawa harapan bagi mereka yang tersisa.
Klik disini untuk ikut menyalakan cahaya harapan di Sudan. Sebab Sekecil apa pun kontribusi yang kita beri, bisa menjadi nafas baru bagi mereka yang masih berjuang di tengah kesulitan.