Di tanah yang setiap pagi disambut dentuman, dan di malam hari yang diselimuti sunyi tanpa listrik, nama Saleh Al-Jaafarawi menjadi cahaya kecil yang menyala di antara puing-puing Gaza. Ia bukan hanya seorang jurnalis. Ia adalah saksi hidup yang menolak bungkam, yang menjadikan kamera dan kata-kata sebagai senjatanya melawan penghapusan eksistensi bangsanya.

Namun pada Ahad, 12 Oktober 2025, suara itu terhenti. Saleh, 27 tahun, ditembak mati saat meliput bentrokan bersenjata di lingkungan Sabra, Kota Gaza. Tubuhnya ditemukan dalam bak truk, masih mengenakan rompi bertuliskan PRESS. Sebuah simbol profesi yang seharusnya dilindungi, bahkan di tengah perang yang paling kejam sekalipun.

“Saya hidup dari detik ke detik, tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya.”

Beberapa bulan sebelum kematiannya, dalam sebuah wawancara, Saleh pernah berkata demikian. Kalimat sederhana yang kini terasa seperti wasiat, pengakuan seorang jurnalis muda yang tau betul, bahwa setiap langkahnya di tanah Gaza merupakan tarikan nafas di antara maut.

Sejak 2019, Saleh dikenal karena keberaniannya mendokumentasikan kondisi di Gaza. Reruntuhan rumah yang hancur, sekolah yang rata, masjid yang menjadi abu, dan anak-anak yang masih menggenggam mainan di antara puing. Ia merekam luka bangsanya dengan cinta. Ia tau, jika bukan dia yang bercerita, mungkin dunia akan tetap menutup mata.

Ancaman sudah menjadi bahasa sehari-harinya. Israel menandai namanya dalam daftar jurnalis yang “harus dibungkam”, namun Saleh tetap memilih bertahan. “Kalau saya pergi, Siapa yang akan menunjukkan kepada dunia bahwa kami masih hidup?” kata Saleh yang pernah menulis di salah satu unggahannya.

Syahid di Tanah yang Tak Pernah Diam

Ketika peluru menembus tubuhnya, Saleh sedang melakukan apa yang selalu ia lakukan, merekam kebenaran. Ia bukan pejuang bersenjata, bukan bagian dari militer. Senjatanya adalah kamera, mikrofon, dan tekad yang lebih kuat dari baja. Namun di Gaza, bahkan kebenaran bisa menjadi sebuah alasan untuk seseorang menjadi target untuk dibunuh.

Pemerintah Gaza menyebut kematiannya sebagai bagian dari operasi sistematis Israel untuk membungkam jurnalis Palestina, baik melalui serangan langsung maupun melalui kelompok proksi bersenjata. Saleh menjadi jurnalis ke-271 yang syahid sejak perang dimulai pada Oktober 2023.

Lebih dari Sekadar Nama di Daftar Panjang

Syahidnya Saleh bukan sekadar angka dalam statistik. Ia adalah potongan jiwa dari sebuah bangsa yang terus berjuang. Di setiap jurnalis yang gugur, ada ribuan cerita yang tak sempat diceritakan, ada wajah-wajah yang tak sempat direkam, ada doa yang menggantung di antara reruntuhan.

Saleh adalah simbol dari generasi muda Palestina yang memilih untuk hidup dengan arti, meski tau bahwa mungkin tak akan hidup lama. Ia percaya pada kekuatan media dan kebenaran, bahwa dunia mungkin diam, tapi sejarah tak akan pernah lupa siapa yang berani bersuara.

“Semoga Allah merahmati pahlawan Saleh Al-Jaafarawi.”

Begitu tulis sahabatnya, jurnalis Gaza Mohamed Shahen, di platform X.
“Setiap hari di Gaza adalah kehilangan baru, perpisahan baru. Meskipun genosida katanya sudah berhenti, pengkhianatan dan darah belum benar-benar berakhir.”

Gaza berduka. Dunia kembali menyaksikan bagaimana profesi yang seharusnya melindungi kebenaran justru menjadi sasaran kematian.

Warisan dari Seorang Jurnalis

Saleh telah tiada. Tapi kisahnya akan terus hidup di setiap rekaman video yang sempat ia unggah, di setiap foto yang membekukan waktu, dan di setiap hati yang masih percaya bahwa jurnalisme adalah bentuk lain dari keberanian.

Ia mungkin tak lagi memegang kameranya, tapi dunia kini memegang kenangannya. Dan selama masih ada yang mengingat, Saleh Al-Jaafarawi belum benar-benar mati.

“Syahid bukanlah akhir bagi mereka yang menulis dengan nurani. Itu hanyalah bab baru, di mana kebenaran terus berbicara, bahkan setelah suara mereka terdiam.”