“Tentunya kami nanti di depan ka’bah ingin sujud syukur. Saya disabilitas netra. Kalau saya gini, minta ke Allah, Ya Allah berikan saya kemampuan untuk berangkat ke Baitullah-Mu. Saya tuh ingin sholat di Masjidil Haram, di Masjid Nabawi. Saya pengen mencium ka’bah. Dan nanti saya di akhirat ingin bisa melihat. Biar di dunia saya tidak bisa melihat, asal nanti di akhirat saya bisa melihat,” ujar Bu Susi, salah satu penyandang Tunanetra.
Bayangkan, orang-orang yang tak pernah melihat cahaya matahari, tapi hatinya terang oleh cahaya iman. Mereka, para tunanetra, yang setiap hari menapaki dunia tanpa warna, tanpa bentuk, namun penuh keyakinan. Kini, ada mimpi besar yang sedang mereka perjuangkan, yakni menyentuh Baitullah dengan tangan mereka sendiri, mencium Hajar Aswad, merasakan setiap langkah thawaf mengelilingi Ka’bah dengan air mata haru, bukan karena mereka bisa melihat, tapi karena mereka mampu merasakan.
Sebuah Mimpi yang Tak Sederhana
Di balik segala keterbatasan fisik itu, ada keyakinan yang luas, bahwa Allah memandang bukan pada mata yang melihat, tapi pada hati yang tunduk. Meski dalam melaksanakannya memerlukan pendamping di setiap langkah, penjelasan di setiap posisi, dan bimbingan di setiap doa.
Bayangkan, 30 tunanetra dari berbagai daerah di Indonesia, dengan segala keterbatasan namun penuh semangat, menabung harapan agar bisa berangkat ke Tanah Suci. Bagi mereka, menatap Ka’bah mungkin bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati yang mampu merasa. Mereka ingin mendengar desiran talbiyah di Masjidil Haram, merasakan lembutnya pasir di padang Arafah, dan mengucap “Labbaik Allahumma Labbaik” dengan dada yang penuh getar iman.
Karena Ibadah Tak Butuh Fisik Sempurna, Hanya Butuh Hati yang Ikhlas
Seorang di antara mereka pernah berkata lirih,
“Saya memang tak bisa melihat Ka’bah, tapi semoga Allah izinkan saya untuk merasakannya.”
Kalimat itu sederhana, namun menghentak. Kita yang diberi penglihatan, terkadang masih lalai ketika menatap keagunganNya. Sementara mereka, dalam gelap yang tak bertepi, justru menemukan cahaya. Dan, bukankah sejatinya, ibadah itu bukan soal apa yang terlihat mata, tapi bagaimana ketundukan hati dalam ikhlas dan berserah?
Kita Bisa Menjadi Cahaya Itu
Saat ini, kita tidak sedang menolong yang lemah. Kita sedang berbagi kekuatan. Kita sedang menjadi bagian dari keajaiban, di mana hati-hati yang tak bisa melihat dunia, justru akan menjadi saksi indahnya ka’bah dengan penglihatan iman.
Karena di hadapan Allah, yang penting bukan siapa yang bisa melihat Ka’bah, tapi siapa yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya. Klik disini untuk menjadi bagian dari langkah mereka menuju Tanah Suci. Karena Ka’bah bukan hanya untuk mereka yang bisa melihat, tetapi untuk semua hati yang mampu merasakan.