Genosida berkepanjangan membuat Gaza tak lagi memiliki ruang untuk menampung luka. Yang tersisa hanyalah rumah sakit yang berdiri setengah runtuh, dipaksa bekerja melampaui batas, dan tenaga medis yang tetap berjaga meski dua tahun terakhir tidak merasakan istirahat yang cukup. Di tengah kondisi itu, satu pertanyaan besar muncul, bagaimana mereka bisa bertahan bila sistem kesehatannya sendiri hampir tumbang?

Pertanyaan itulah yang melatarbelakangi sebuah pertemuan online penting yang mempertemukan RS Syuhada Al-Aqsa, Kementerian Kesehatan Gaza, Kementerian Wakaf Gaza, serta lembaga-lembaga kemanusiaan Indonesia seperti Relawan Nusantara, Rumah Zakat, Masjid Nusantara, Sharing Happiness, Rumah Wakaf, Cita Sehat Foundation, dan Satibi. Pertemuan itu menjadi langkah awal untuk sebuah tujuan besar yang mendesak, pengadaan Rumah Sakit Darurat Palestina.

Pertemuan Lintas Batas yang Melahirkan Ikhtiar Besar

Tujuan ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan lahir dari urgensi yang tidak bisa lagi diabaikan. Dr. Raed Muhammad Hussein, Direktur RS Syuhada Al-Aqsa, menjelaskan dalam pertemuan itu bahwa rumah sakit mereka seharusnya mampu menampung 400 pasien. Namun kenyataan di lapangan jauh dari angka itu. Lebih dari satu juta warga terdorong ke wilayah utara Gaza, dan RS Syuhada Al-Aqsa menjadi salah satu titik terakhir yang masih berfungsi. Setiap hari, ratusan orang datang dalam kondisi kritis. Ruang pasien langsung penuh begitu dibuka. Bahkan sebelum matahari tenggelam, lorong-lorong rumah sakit telah dipenuhi warga yang berbaring di lantai, menunggu pertolongan secepat yang mampu diberikan.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang lebih mematahkan hati selain melihat seseorang membutuhkan tindakan operasi segera, tetapi ruang operasi sudah penuh dan meja operasinya rusak. Tidak ada yang lebih menyesakkan selain melihat seorang anak dipasang infus di halaman rumah sakit karena tidak ada ranjang tersisa. Dan tidak ada yang lebih memilukan daripada menyaksikan tenaga medis yang bekerja tanpa henti, dua tahun tanpa jeda, sementara alat-alat mereka satu per satu berhenti berfungsi.

Di ruang pertemuan online itu, Dr. Raed menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang mereka pertahankan. Meja operasi yang diperbaiki hampir setiap hari. Mesin X-ray yang mati hidup. Peralatan yang rusak total karena bekerja tanpa henti selama dua tahun berturut-turut. Banyak alat yang tak bisa diperbaiki karena tidak ada suku cadangnya.

Dari sinilah kesimpulan besar muncul, RS Syuhada Al-Aqsa tidak lagi mampu menanggung beban krisis ini sendirian. Rumah Sakit Darurat Palestina harus segera dibangun.

Rumah Sakit Darurat Palestina: Harapan Baru di Tengah Reruntuhan

Rumah sakit darurat ini bukan sekedar tambahan bangunan. Ia adalah perpanjangan tangan dari rumah sakit utama yang sudah tak sanggup lagi. Ia adalah ruang bernafas bagi ribuan pasien yang selama ini hanya mendapat perawatan seadanya. Rumah sakit darurat adalah satu-satunya solusi untuk menampung limpahan pasien yang luar biasa besar, menyediakan ruang operasi tambahan, memperkuat tenaga medis yang kekurangan ruang dan alat, serta memastikan pelayanan medis tetap berjalan meski genosida masih berlangsung.

Pertemuan online itu menjadi momentum penyatuan visi, untuk memberi Gaza ruang agar tetap hidup. Semua pihak memahami bahwa tanpa kehadiran rumah sakit darurat, tidak akan ada lagi tempat bagi mereka yang terluka untuk mencari keselamatan.

Di dalam pertemuan itu pula, muncul komitmen bahwa rumah sakit darurat ini akan dibangun melalui empat jalur utama yang telah diuraikan oleh Dr. Raed. Penguatan tenaga medis, pengadaan dan pembaruan peralatan medis, perbaikan fasilitas rumah sakit yang sudah ada, serta rencana jangka panjang membangun gedung rumah sakit permanen. Empat jalur ini bukan hanya strategi, tetapi peta jalan agar sistem kesehatan Gaza bisa tetap bertahan.

Maka lahirlah inisiatif besar berupa Rumah Sakit Darurat Palestina, sebuah kolaborasi antara RS Syuhada Al-Aqsa dan lembaga-lembaga kemanusiaan Indonesia. Program yang akan langsung menyentuh kebutuhan paling mendesak, ruang untuk merawat manusia.

Pada akhirnya, pengadaan rumah sakit darurat bukan sekedar proyek medis, tetapi upaya menjaga nyawa. Upaya memastikan bahwa di tengah dunia yang seolah menutup mata, masih ada tangan yang terulur dari jauh. Upaya memastikan bahwa harapan tetap bisa tumbuh meski tanahnya penuh reruntuhan.

Dan semuanya dimulai dari sebuah pertemuan online. Dari percakapan yang melintasi ribuan kilometer. Dari keyakinan bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas negara, tidak mengenal jarak, dan tidak mengenal diam.

Klik di sini untuk ikut memberi dukungan, karena di balik setiap kontribusi ada harapan yang kembali berdetak, ada ruang perawatan yang bisa dibangun, ada nyawa yang mungkin selamat hanya karena seseorang di tempat jauh memilih untuk peduli.