09 Desember 2025 – Sore itu, udara di sekitar posko pengungsian masih dipenuhi bau lumpur dan sisa-sisa air yang baru surut. Para penyintas terlihat mondar-mandir, mencari kehangatan dan ketenangan setelah hari yang penuh kepanikan. Tatapan mereka menyimpan satu kegelisahan yang kerap muncul dalam situasi seperti ini bagaimana dengan shalat yang terlewat?
Bencana selalu datang tanpa memberi waktu bersiap. Ketika air banjir menerjang atau tanah mulai bergerak, manusia hanya punya satu pilihan yaitu menyelamatkan diri. Dalam kondisi inilah, banyak orang kehilangan kesempatan menunaikan shalat pada waktunya. Namun syariat Islam tidaklah kaku, ia memberi ruang bagi manusia untuk tetap beribadah tanpa terbebani oleh keadaan yang di luar kendali.
Di tengah kesibukan posko dan ketidakpastian yang melingkupi penyintas, ada keringanan besar yang Allah berikan rukhsah. Salah satu bentuknya adalah kebolehan menjamak shalat. Bagi mereka yang terpaksa meninggalkan rumah, kehilangan akses ke tempat ibadah, atau terjebak dalam proses evakuasi yang panjang, menjamak shalat menjadi jalan untuk tetap terhubung dengan Allah tanpa menambah beban di tengah kesulitan. Jamak taqdim maupun jamak ta’khir dapat dilakukan sesuai situasi yang lebih aman dan memungkinkan.
Kewajiban yang Tetap Ada namun Diberi Kemudahan
Kewajiban shalat sendiri tidak hilang hanya karena bencana. Ia tetap melekat selama akal seseorang masih ada, dan tidak sedang dalam kondisi haid atau nifas. Namun ketika keadaan darurat menghalangi seseorang untuk shalat tepat waktu, syariat memberi izin untuk menunaikannya saat situasi sudah lebih stabil. Inilah bentuk kasih sayang Allah bukan untuk menyulitkan, tapi untuk memudahkan hambanya di saat keadaan memaksa.
Keringanan dalam menjamak shalat juga tidak memiliki batas waktu tertentu. Selama situasi bencana masih menciptakan kesulitan dan kesempitan, selama ibadah secara normal tidak dapat dijalankan, selama itulah keringanan itu berlaku. Tidak ada aturan yang memaksa seseorang harus kembali ke kondisi normal sebelum mereka benar-benar mampu melakukannya.
Di posko yang diterangi cahaya temaram, para penyintas terus berusaha bangkit dari situasi berat yang menimpa mereka. Namun ada ketenangan kecil yang mengalir di antara kepenatan, keyakinan bahwa Allah tidak pernah membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Ibadah tetap bisa dijalankan, dengan cara yang dipermudah, dengan hati yang tetap terhubung meski dunia sekitar sedang porak-poranda.
Di tengah bencana, keringanan ini bukan hanya aturan fikih ia adalah pelukan lembut dari langit. Sebuah pengingat bahwa dalam kondisi paling genting pun, Allah selalu menyediakan jalan untuk kembali kepada-Nya.
Menghadirkan Kenyamanan Ibadah di Masa Sulit
Namun dibalik semua keringanan itu, ada satu hal yang sulit disembunyikan yaitu kerinduan untuk bisa beribadah dengan nyaman. Banyak penyintas yang hanya menyisakan sajadah lusuh atau mukena yang basah saat evakuasi. Ada pula yang kehilangan seluruh perlengkapan ibadahnya, sehingga harus shalat di atas terpal, tanah becek, atau kain seadanya. Kenyamanan yang biasanya dirasakan saat sujud di rumah kini berganti menjadi rasa dingin, keras, dan kadang tidak layak.
Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan alat sholat sederhana seperti sajadah, mukena bersih, atau sarung menjadi sangat berarti. Benda-benda yang tampak kecil itu memberikan rasa tenang, menjaga kekhusyuan, sekaligus menjadi pelindung dari kotoran di sekitar posko. Bagi banyak penyintas, memiliki kembali perlengkapan sholat bukan sekadar kebutuhan fisik, tetapi juga penopang ketenangan batin di tengah masa sulit.
Di tengah upaya pemulihan yang masih panjang, dukungan sahabat dapat menjadi kekuatan bagi para penyintas untuk bangkit kembali. Klik disini untuk ikut hadir bagi para penyintas bersama Relawan Nusantara. Bersama membantu mereka yang terdampak dengan memberikan donasi terbaik agar bantuan terus menjangkau wilayah-wilayah yang masih membutuhkan.
